Minggu, 16 Juni 2013

Peran Nusantara Dalam Hubungan Dagang Internasional Abad 14

Nusantara merupakan negeri kepulauan (Archipelago). Kesuburan tanah dan sumber kekayaan alamnya pada setiap pulau amat bervariasi sehingga terdapat barang komoditas yang berbeda. Kekayaan alam itu diolah dan dimanfaatkan penduduk dengan tingkat kemampuan yang berbeda. Mereka saling membutuhkan barang yang tidak ada di tempatnya. Hal inilah yang menyebabkan timbulnya hubungan perdagangan antarpulau dan antarwilayah di Nusantara.

Hubungan perdagangan antarpulau di Indonesia telah berlangsung berabad-abad, terutama pada masa kerajaan-kerajaan Islam Nusantara. Salah satu factor yang menunjang kegiatan itu adalah pengetahuan mereka tentang angin. Dengan memanfaatkan pengetahuan tersebut, di sekitar bulan September-Oktober kapal-kapal yang berada di sebelah timur akan berlayar ke sebelah barat. Sebaliknya, pada sekitar bulan Maret-April kapal-kapal berlayar dari barat ke arah timur. Hal ini disebabkan kondisi geografis Kepulauan Nusantara yang memiliki iklim muson, yakni iklim yang ditandai pergantian arah angin selama enam bulan sekali.

Pelaut-pelaut Nusantara juga telah mengetahui beberapa rasi bintang. Ketika berlayar pada siang hari, mereka mencari pedoman arah pada pulau-pulau, gunung-gunung, tanjung-tanjung, atau letak kedudukan matahari di langit. Pada malam hari mereka memanfaatkan rasi bintang di langit yang cerah sebagai pedoman arahnya. Para pelaut mengetahui bahwa rasi bintang pari berguna sebagai pedoman mencari arah selatan dan rasi bintang biduk besar menjadi pedoman untuk menentukan arah utara. Hubungan perdagangan antarpulau di Indonesia sebelum tahun 1500 berpusat di beberapa wilayah, antara lain Samudera Pasai, Sriwijaya, Melayu, Pajajaran, Majapahit, Gowa-Tallo, Ternate, dan Tidore.

Kemajuan perdagangan dan pelayaran antarpulau juga ditunjang dengan pengetahuan tentang pembuatan kapal. Berdasarkan teknik pembuatannya, dikenal dua jenis perahu, yaitu perahu lesung dan perahu papan. Perahu Lesung adalah perahu yang dibuat dari batang pohon besar yang dikeruk bagian tengahnya hingga berbentuk seperti lesung. Perahu Papan adalah perahu yang dibuat dari beberapa buah batang papan yang disambung dengan pena kayu atau baut, sekrup, dan paku baja.

Perahu Lesung ada yang bercadik dan tidak bercadik. Cadik adalah bamboo atau kayu yang dipasang di kiri kanan perahu serupa sayap sebagai alat pengatur keseimbangan agar tidak mudah terbalik. Perahu lesung dijalankan dengan tenaga manusia dan dorongan angin. Perahu yang menggunakan tenaga angina mempunyai tiang satu atau lebih untuk memasang layarnya. Perahu papan memiliki bentuk dan ukuran yang beragam. Semakin tinggi pengetahuan pembuat kapal, semakin baik dan indah perahunya. Jenis perahu ini sangat tepat digunakan sebagai alat hubungan lalu lintas perdagangan antarpulau. Jenis kapal ini memiliki daya muat yang baik untuk membawa barang dalam jumlah yang besar.

Dengan berbekal pengetahuan angina, navigasi, dan teknologi perkapalan, para pedagang dan pusat-pusat perdagangan Nusantara tidak saja menjalin hubungan atarpulau di negeri sendiri, tetapi juga hubungan antarbangsa, terutama dengan bandar-bandar di kawasan Asia Tenggara. Para pedagang Nusantara, baik dari Jawa, Sumatera, Sulawesi, Maluku, maupun pulau-pulau lain telah berjasil menjalin hubungan dagang bandar-bandar, seperti Malaka dan Johor di Semenanjung Malaka; Pattani, dan Kra di Thailand; Pegu di Myanmar (Birma); Campa di Kamboja; Manila di Filipina; Brunei dan bandar-bandar lain.

Di antara abad ke-7 sampai 15 di kawasan Nusantara telah muncul beberapa pusat perdagangan. Pusat-pusat perdagangan Nusantara saling dikunjungi para pedagang asing, terutama Cina, India, dan negeri-negeri di kawasan Asia Tenggara. Munculnya pusat-pusat perdagangan Nusantara disebabkan adanya kemampuan sebagai tempat berikut ini.

1.Pemberi bekal untuk berlayar dari suatu tempat ke tempat lain.
2.Pemberi tempat istirahat bagi kapal-kapal yang singgah di Nusantara.
3.Pengumpul barang komoditas yang diperlukan bangsa lain.
4.Penyedia tempat pemasaran bagi barang-barang asing yang siap disebarkan keseluruh Nusantara.

Hubungan di antara pusat-pusat perdagangan Nusantara dan Asia Tenggara ternyata telah berjalan aktif semenjak zaman prasejarah. Berdasarkan penelitian F. Heger diketahui telah ada aktivitas perdagangan atau tukar menukar jenis nekara perunggu.

Tipe-tipe nekara perunggu yang ditemukan di Nusantara memperlihatkan jenis barang yang dibuat bangsa sendiri dan bangsaa asing, misalnya nekara dari Bascon-Hoabinh di Vietnam. Penemuan benda-benda bersejarah itu menandai telah ada hubungan dagang dan budaya di antara semua negeri di kawasan Asia Tenggara.

Sejak abad ke-7 Kerajaan Sriwijaya mulai berusaha mengembangkan hubungan perdagangan dan pelayaran dengan negeri asing. Pada abad ke-9 kerajaan ini mampu menjadi salah satu pusat perdagangan di Asia Tenggara yang dapat menjalin hubungan dengan Malaka, Pattani, dan negeri-negeri lain di Asia Tenggara. Sriwijaya yang terletak di antara jalur lalu lintas perdagangan India-Cina sering dikunjungi oleh para pedagang dari Persia, Arab, Cina, dan negeri-negeri Asia Tenggara, seperti Campa, Siam, dan Birma. Kedatangan mereka ke Sriwijaya karena di negeri itu banyak barang-barang dagangan yang dibutuhka, diantaranya kapur barus, mutiara, kayu, rempah-rempah, gading, perak, emas, gula, dan sebagainya. Kemajuan bandar dagang Sriwijaya didukung pula oleh kemampuan melindungi kapal-kapal dagang yang berlabuh.

Peranan Sriwijaya sebagai salah satu pusat perdagangan dan pelayaran di Asia Tenggara umumnya dan Nusantara khususnya, kemudian digantikan oleh Kesultanan Samudera Pasai sejak abad ke-13. Sebagai pusat perdagangan yang baru, Samudera Pasai menjalin hubungan dengan Cina, Gujarat, Benggala, dan beberapa pelabuhan di pantai utara Jawa. Banyak kapal yang berlayar di sekitar Selat Malaka kemudian singgah di Samudera Pasai. Dengan demikian, Samudera Pasai berperan meramaikan dan memperlancar aktivitas perdagangan di Asia Tenggara.

Bandar Tuban dan Gresik merupakan pelabuhan-pelabuhan penting Kerajaan Majapahit. Dua bandar dagang ini menjadi pelabuhan transition rempah-rempah yang berasal dari Maluku. Dari bandar-bandar dagang itu, kapal-kapal dagang Majapahit membawa rempah-rempah, beras, dan bahan makanan lain ke Malaka atau bandar-bandar penting lain. Oleh karena itu, Majapahit dapat dikatakan sebagai negeri yang berperan memasarkan rempah-rempah dari Maluku ke Malaka.

Negeri-negeri Nusantara lain yang ikut meramaikan hubungan perdagangan di Asia Tenggara, antara lain Banjar yang berhubungan dengan Brunei Darussalam, Ternate dan Tidore yang berhubungan dengan Manila di Filipina, Makassar yang memiliki pelaut-pelaut ulung berhubungan dengan Gresik dan Malaka. Akan tetapi, dari semua hubungan dagang itu, pusat-pusat perdagangan di Nusantara paling sering dan banyak berhubungan dagang dengan Bandar Malaka.

Malaka dikenal sebagai kota dagang yang banyak memamerkan barang-barang dari negeri di sebelah barat atau timur wilayahnya. Malaka muncul sebagai kota dagang utama di Asia Tenggara setelah mundurnya Kerajaan Sriwijaya dan Samudera Pasai. Semula Malaka hanya dijadikan sebagai tempat peristirahatan kapal-kapal. Namun, lambat laun Malaka berubah menjadi kota pusat perdagangan. Hal ini disebabkan letak Malaka yang sangat strategis, yaitu pintu gerbang yang menghubungkan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Kemajuan Malaka akhirnya surut setelah bangsa Portugis dating. Pada tahun 1511 bangsa Portugis menaklukkan Malaka di bawah pimpinan Alfonso d’Albuquerque.

Di antara abad ke-7 sampai 15 di kawasan Nusantara telah muncul beberapa pusat perdagangan. Pusat-pusat perdagangan Nusantara saling dikunjungi para pedagang asing, terutama Cina, India, dan negeri-negeri di kawasan Asia Tenggara. Munculnya pusat-pusat perdagangan Nusantara disebabkan adanya kemampuan sebagai tempat berikut ini.

1.Pemberi bekal untuk berlayar dari suatu tempat ke tempat lain.
2.Pemberi tempat istirahat bagi kapal-kapal yang singgah di Nusantara.
3.Pengumpul barang komoditas yang diperlukan bangsa lain.
4.Penyedia tempat pemasaran bagi barang-barang asing yang siap disebarkan keseluruh Nusantara.

Pusat-pusat perdagangan Nusantara yang ramai dikunjungi bangsa asing dan para pedagang local tersebut dimiliki kerajaan-kerajaan Nusantara yang wilayahnya menjangkau pantai.

Hubungan di antara pusat-pusat perdagangan Nusantara dan Asia Tenggara ternyata telah berjalan aktif semenjak zaman prasejarah. Berdasarkan penelitian F. Heger diketahui telah ada aktivitas perdagangan atau tukar menukar jenis nekara perunggu.

Tipe-tipe nekara perunggu yang ditemukan di Nusantara memperlihatkan jenis barang yang dibuat bangsa sendiri dan bangsaa asing, misalnya nekara dari Bascon-Hoabinh di Vietnam. Penemuan benda-benda bersejarah itu menandai telah ada hubungan dagang dan budaya di antara semua negeri di kawasan Asia Tenggara.

Sejak abad ke-7 Kerajaan Sriwijaya mulai berusaha mengembangkan hubungan perdagangan dan pelayaran dengan negeri asing. Pada abad ke-9 kerajaan ini mampu menjadi salah satu pusat perdagangan di Asia Tenggara yang dapat menjalin hubungan dengan Malaka, Pattani, dan negeri-negeri lain di Asia Tenggara. Sriwijaya yang terletak di antara jalur lalu lintas perdagangan India-Cina sering dikunjungi oleh para pedagang dari Persia, Arab, Cina, dan negeri-negeri Asia Tenggara, seperti Campa, Siam, dan Birma. Kedatangan mereka ke Sriwijaya karena di negeri itu banyak barang-barang dagangan yang dibutuhka, diantaranya kapur barus, mutiara, kayu, rempah-rempah, gading, perak, emas, gula, dan sebagainya. Kemajuan bandar dagang Sriwijaya didukung pula oleh kemampuan melindungi kapal-kapal dagang yang berlabuh.

Peranan Sriwijaya sebagai salah satu pusat perdagangan dan pelayaran di Asia Tenggara umumnya dan Nusantara khususnya, kemudian digantikan oleh Kesultanan Samudera Pasai sejak abad ke-13. Sebagai pusat perdagangan yang baru, Samudera Pasai menjalin hubungan dengan Cina, Gujarat, Benggala, dan beberapa pelabuhan di pantai utara Jawa. Banyak kapal yang berlayar di sekitar Selat Malaka kemudian singgah di Samudera Pasai. Dengan demikian, Samudera Pasai berperan meramaikan dan memperlancar aktivitas perdagangan di Asia Tenggara.

Bandar Tuban dan Gresik merupakan pelabuhan-pelabuhan penting Kerajaan Majapahit. Dua bandar dagang ini menjadi pelabuhan transition rempah-rempah yang berasal dari Maluku. Dari bandar-bandar dagang itu, kapal-kapal dagang Majapahit membawa rempah-rempah, beras, dan bahan makanan lain ke Malaka atau bandar-bandar penting lain. Oleh karena itu, Majapahit dapat dikatakan sebagai negeri yang berperan memasarkan rempah-rempah dari Maluku ke Malaka.

Negeri-negeri Nusantara lain yang ikut meramaikan hubungan perdagangan di Asia Tenggara, antara lain Banjar yang berhubungan dengan Brunei Darussalam, Ternate dan Tidore yang berhubungan dengan Manila di Filipina, Makassar yang memiliki pelaut-pelaut ulung berhubungan dengan Gresik dan Malaka. Akan tetapi, dari semua hubungan dagang itu, pusat-pusat perdagangan di Nusantara paling sering dan banyak berhubungan dagang dengan Bandar Malaka.

Malaka dikenal sebagai kota dagang yang banyak memamerkan barang-barang dari negeri di sebelah barat atau timur wilayahnya. Malaka muncul sebagai kota dagang utama di Asia Tenggara setelah mundurnya Kerajaan Sriwijaya dan Samudera Pasai. Semula Malaka hanya dijadikan sebagai tempat peristirahatan kapal-kapal. Namun, lambat laun Malaka berubah menjadi kota pusat perdagangan. Hal ini disebabkan letak Malaka yang sangat strategis, yaitu pintu gerbang yang menghubungkan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Kemajuan Malaka akhirnya surut setelah bangsa Portugis dating. Pada tahun 1511 bangsa Portugis menaklukkan Malaka di bawah pimpinan Alfonso d’Albuquerque.