Nusantara merupakan
negeri kepulauan (Archipelago). Kesuburan tanah dan sumber kekayaan alamnya
pada setiap pulau amat bervariasi sehingga terdapat barang komoditas yang
berbeda. Kekayaan alam itu diolah dan dimanfaatkan penduduk dengan tingkat
kemampuan yang berbeda. Mereka saling membutuhkan barang yang tidak ada di
tempatnya. Hal inilah yang menyebabkan timbulnya hubungan perdagangan
antarpulau dan antarwilayah di Nusantara.
Hubungan perdagangan
antarpulau di Indonesia telah berlangsung berabad-abad, terutama pada masa
kerajaan-kerajaan Islam Nusantara. Salah satu factor yang menunjang kegiatan
itu adalah pengetahuan mereka tentang angin. Dengan memanfaatkan pengetahuan
tersebut, di sekitar bulan September-Oktober kapal-kapal yang berada di sebelah
timur akan berlayar ke sebelah barat. Sebaliknya, pada sekitar bulan
Maret-April kapal-kapal berlayar dari barat ke arah timur. Hal ini disebabkan
kondisi geografis Kepulauan Nusantara yang memiliki iklim muson, yakni iklim
yang ditandai pergantian arah angin selama enam bulan sekali.
Pelaut-pelaut
Nusantara juga telah mengetahui beberapa rasi bintang. Ketika berlayar pada
siang hari, mereka mencari pedoman arah pada pulau-pulau, gunung-gunung,
tanjung-tanjung, atau letak kedudukan matahari di langit. Pada malam hari
mereka memanfaatkan rasi bintang di langit yang cerah sebagai pedoman arahnya.
Para pelaut mengetahui bahwa rasi bintang pari berguna sebagai pedoman mencari
arah selatan dan rasi bintang biduk besar menjadi pedoman untuk menentukan arah
utara. Hubungan perdagangan antarpulau di Indonesia sebelum tahun 1500 berpusat
di beberapa wilayah, antara lain Samudera Pasai, Sriwijaya, Melayu, Pajajaran,
Majapahit, Gowa-Tallo, Ternate, dan Tidore.
Kemajuan perdagangan
dan pelayaran antarpulau juga ditunjang dengan pengetahuan tentang pembuatan
kapal. Berdasarkan teknik pembuatannya, dikenal dua jenis perahu, yaitu perahu
lesung dan perahu papan. Perahu Lesung adalah perahu yang
dibuat dari batang pohon besar yang dikeruk bagian tengahnya hingga berbentuk
seperti lesung. Perahu Papan adalah perahu yang dibuat dari
beberapa buah batang papan yang disambung dengan pena kayu atau baut, sekrup,
dan paku baja.
Perahu Lesung ada yang
bercadik dan tidak bercadik. Cadik adalah bamboo atau kayu
yang dipasang di kiri kanan perahu serupa sayap sebagai alat pengatur
keseimbangan agar tidak mudah terbalik. Perahu lesung dijalankan dengan tenaga
manusia dan dorongan angin. Perahu yang menggunakan tenaga angina mempunyai
tiang satu atau lebih untuk memasang layarnya. Perahu papan memiliki bentuk dan
ukuran yang beragam. Semakin tinggi pengetahuan pembuat kapal, semakin baik dan
indah perahunya. Jenis perahu ini sangat tepat digunakan sebagai alat hubungan
lalu lintas perdagangan antarpulau. Jenis kapal ini memiliki daya muat yang
baik untuk membawa barang dalam jumlah yang besar.
Dengan berbekal
pengetahuan angina, navigasi, dan teknologi perkapalan, para pedagang dan
pusat-pusat perdagangan Nusantara tidak saja menjalin hubungan atarpulau di
negeri sendiri, tetapi juga hubungan antarbangsa, terutama dengan bandar-bandar
di kawasan Asia Tenggara. Para pedagang Nusantara, baik dari Jawa, Sumatera,
Sulawesi, Maluku, maupun pulau-pulau lain telah berjasil menjalin hubungan
dagang bandar-bandar, seperti Malaka dan Johor di Semenanjung Malaka; Pattani,
dan Kra di Thailand; Pegu di Myanmar (Birma); Campa di Kamboja; Manila di
Filipina; Brunei dan bandar-bandar lain.
Di antara abad ke-7
sampai 15 di kawasan Nusantara telah muncul beberapa pusat perdagangan.
Pusat-pusat perdagangan Nusantara saling dikunjungi para pedagang asing,
terutama Cina, India, dan negeri-negeri di kawasan Asia Tenggara. Munculnya
pusat-pusat perdagangan Nusantara disebabkan adanya kemampuan sebagai tempat
berikut ini.
1.Pemberi bekal untuk
berlayar dari suatu tempat ke tempat lain.
2.Pemberi tempat
istirahat bagi kapal-kapal yang singgah di Nusantara.
3.Pengumpul barang
komoditas yang diperlukan bangsa lain.
4.Penyedia tempat
pemasaran bagi barang-barang asing yang siap disebarkan keseluruh Nusantara.
Hubungan di antara
pusat-pusat perdagangan Nusantara dan Asia Tenggara ternyata telah berjalan
aktif semenjak zaman prasejarah. Berdasarkan penelitian F. Heger diketahui
telah ada aktivitas perdagangan atau tukar menukar jenis nekara perunggu.
Tipe-tipe nekara
perunggu yang ditemukan di Nusantara memperlihatkan jenis barang yang dibuat
bangsa sendiri dan bangsaa asing, misalnya nekara dari Bascon-Hoabinh di
Vietnam. Penemuan benda-benda bersejarah itu menandai telah ada hubungan dagang
dan budaya di antara semua negeri di kawasan Asia Tenggara.
Sejak abad ke-7
Kerajaan Sriwijaya mulai berusaha mengembangkan hubungan perdagangan dan
pelayaran dengan negeri asing. Pada abad ke-9 kerajaan ini mampu menjadi salah
satu pusat perdagangan di Asia Tenggara yang dapat menjalin hubungan dengan
Malaka, Pattani, dan negeri-negeri lain di Asia Tenggara. Sriwijaya yang
terletak di antara jalur lalu lintas perdagangan India-Cina sering dikunjungi
oleh para pedagang dari Persia, Arab, Cina, dan negeri-negeri Asia Tenggara,
seperti Campa, Siam, dan Birma. Kedatangan mereka ke Sriwijaya karena di negeri
itu banyak barang-barang dagangan yang dibutuhka, diantaranya kapur barus,
mutiara, kayu, rempah-rempah, gading, perak, emas, gula, dan sebagainya.
Kemajuan bandar dagang Sriwijaya didukung pula oleh kemampuan melindungi
kapal-kapal dagang yang berlabuh.
Peranan Sriwijaya
sebagai salah satu pusat perdagangan dan pelayaran di Asia Tenggara umumnya dan
Nusantara khususnya, kemudian digantikan oleh Kesultanan Samudera Pasai sejak
abad ke-13. Sebagai pusat perdagangan yang baru, Samudera Pasai menjalin
hubungan dengan Cina, Gujarat, Benggala, dan beberapa pelabuhan di pantai utara
Jawa. Banyak kapal yang berlayar di sekitar Selat Malaka kemudian singgah di
Samudera Pasai. Dengan demikian, Samudera Pasai berperan meramaikan dan
memperlancar aktivitas perdagangan di Asia Tenggara.
Bandar Tuban dan
Gresik merupakan pelabuhan-pelabuhan penting Kerajaan Majapahit. Dua bandar
dagang ini menjadi pelabuhan transition rempah-rempah yang berasal dari Maluku.
Dari bandar-bandar dagang itu, kapal-kapal dagang Majapahit membawa
rempah-rempah, beras, dan bahan makanan lain ke Malaka atau bandar-bandar
penting lain. Oleh karena itu, Majapahit dapat dikatakan sebagai negeri yang
berperan memasarkan rempah-rempah dari Maluku ke Malaka.
Negeri-negeri
Nusantara lain yang ikut meramaikan hubungan perdagangan di Asia Tenggara,
antara lain Banjar yang berhubungan dengan Brunei Darussalam, Ternate dan
Tidore yang berhubungan dengan Manila di Filipina, Makassar yang memiliki
pelaut-pelaut ulung berhubungan dengan Gresik dan Malaka. Akan tetapi, dari
semua hubungan dagang itu, pusat-pusat perdagangan di Nusantara paling sering
dan banyak berhubungan dagang dengan Bandar Malaka.
Malaka dikenal sebagai
kota dagang yang banyak memamerkan barang-barang dari negeri di sebelah barat
atau timur wilayahnya. Malaka muncul sebagai kota dagang utama di Asia Tenggara
setelah mundurnya Kerajaan Sriwijaya dan Samudera Pasai. Semula Malaka hanya
dijadikan sebagai tempat peristirahatan kapal-kapal. Namun, lambat laun Malaka
berubah menjadi kota pusat perdagangan. Hal ini disebabkan letak Malaka yang
sangat strategis, yaitu pintu gerbang yang menghubungkan Samudera Hindia dan
Samudera Pasifik. Kemajuan Malaka akhirnya surut setelah bangsa Portugis
dating. Pada tahun 1511 bangsa Portugis menaklukkan Malaka di bawah pimpinan
Alfonso d’Albuquerque.
Di antara abad ke-7 sampai 15 di kawasan Nusantara telah muncul beberapa pusat perdagangan. Pusat-pusat perdagangan Nusantara saling dikunjungi para pedagang asing, terutama Cina, India, dan negeri-negeri di kawasan Asia Tenggara. Munculnya pusat-pusat perdagangan Nusantara disebabkan adanya kemampuan sebagai tempat berikut ini.
1.Pemberi bekal untuk berlayar dari suatu tempat ke tempat lain.
2.Pemberi tempat istirahat bagi kapal-kapal yang singgah di Nusantara.
3.Pengumpul barang komoditas yang diperlukan bangsa lain.
4.Penyedia tempat pemasaran bagi barang-barang asing yang siap disebarkan keseluruh Nusantara.
Pusat-pusat perdagangan Nusantara yang ramai dikunjungi bangsa asing dan para pedagang local tersebut dimiliki kerajaan-kerajaan Nusantara yang wilayahnya menjangkau pantai.
Hubungan di antara pusat-pusat perdagangan Nusantara dan Asia Tenggara ternyata telah berjalan aktif semenjak zaman prasejarah. Berdasarkan penelitian F. Heger diketahui telah ada aktivitas perdagangan atau tukar menukar jenis nekara perunggu.
Tipe-tipe nekara perunggu yang ditemukan di Nusantara memperlihatkan jenis barang yang dibuat bangsa sendiri dan bangsaa asing, misalnya nekara dari Bascon-Hoabinh di Vietnam. Penemuan benda-benda bersejarah itu menandai telah ada hubungan dagang dan budaya di antara semua negeri di kawasan Asia Tenggara.
Sejak abad ke-7 Kerajaan Sriwijaya mulai berusaha mengembangkan hubungan perdagangan dan pelayaran dengan negeri asing. Pada abad ke-9 kerajaan ini mampu menjadi salah satu pusat perdagangan di Asia Tenggara yang dapat menjalin hubungan dengan Malaka, Pattani, dan negeri-negeri lain di Asia Tenggara. Sriwijaya yang terletak di antara jalur lalu lintas perdagangan India-Cina sering dikunjungi oleh para pedagang dari Persia, Arab, Cina, dan negeri-negeri Asia Tenggara, seperti Campa, Siam, dan Birma. Kedatangan mereka ke Sriwijaya karena di negeri itu banyak barang-barang dagangan yang dibutuhka, diantaranya kapur barus, mutiara, kayu, rempah-rempah, gading, perak, emas, gula, dan sebagainya. Kemajuan bandar dagang Sriwijaya didukung pula oleh kemampuan melindungi kapal-kapal dagang yang berlabuh.
Peranan Sriwijaya sebagai salah satu pusat perdagangan dan pelayaran di Asia Tenggara umumnya dan Nusantara khususnya, kemudian digantikan oleh Kesultanan Samudera Pasai sejak abad ke-13. Sebagai pusat perdagangan yang baru, Samudera Pasai menjalin hubungan dengan Cina, Gujarat, Benggala, dan beberapa pelabuhan di pantai utara Jawa. Banyak kapal yang berlayar di sekitar Selat Malaka kemudian singgah di Samudera Pasai. Dengan demikian, Samudera Pasai berperan meramaikan dan memperlancar aktivitas perdagangan di Asia Tenggara.
Bandar Tuban dan Gresik merupakan pelabuhan-pelabuhan penting Kerajaan Majapahit. Dua bandar dagang ini menjadi pelabuhan transition rempah-rempah yang berasal dari Maluku. Dari bandar-bandar dagang itu, kapal-kapal dagang Majapahit membawa rempah-rempah, beras, dan bahan makanan lain ke Malaka atau bandar-bandar penting lain. Oleh karena itu, Majapahit dapat dikatakan sebagai negeri yang berperan memasarkan rempah-rempah dari Maluku ke Malaka.
Negeri-negeri Nusantara lain yang ikut meramaikan hubungan perdagangan di Asia Tenggara, antara lain Banjar yang berhubungan dengan Brunei Darussalam, Ternate dan Tidore yang berhubungan dengan Manila di Filipina, Makassar yang memiliki pelaut-pelaut ulung berhubungan dengan Gresik dan Malaka. Akan tetapi, dari semua hubungan dagang itu, pusat-pusat perdagangan di Nusantara paling sering dan banyak berhubungan dagang dengan Bandar Malaka.
Malaka dikenal sebagai kota dagang yang banyak memamerkan barang-barang dari negeri di sebelah barat atau timur wilayahnya. Malaka muncul sebagai kota dagang utama di Asia Tenggara setelah mundurnya Kerajaan Sriwijaya dan Samudera Pasai. Semula Malaka hanya dijadikan sebagai tempat peristirahatan kapal-kapal. Namun, lambat laun Malaka berubah menjadi kota pusat perdagangan. Hal ini disebabkan letak Malaka yang sangat strategis, yaitu pintu gerbang yang menghubungkan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Kemajuan Malaka akhirnya surut setelah bangsa Portugis dating. Pada tahun 1511 bangsa Portugis menaklukkan Malaka di bawah pimpinan Alfonso d’Albuquerque.